Opini /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 05/01/2021 12:00 WIB
Catatan Awal Tahun tentang Hukum, Demokrasi, HAM dan Keadilan

FPI, Negara dan Criminal Society

Praktisi Hukum Universitas Padjajaran UNPAD Bandung Salahudin Gaffar
Praktisi Hukum Universitas Padjajaran UNPAD Bandung Salahudin Gaffar

Salahudin Gaffar, Praktisi Hukum Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung.

 

Proses reformasi Indonesia diawali dengan terbentuknya polarisasi penghakiman rezim orde baru melalui opini bahwa kekuasaan orde baru (politik, ekonomi dan hukum) terlampau sentralistik pada kelompok tertentu dengan mengatasnamakan negara pada akhirnya negara menjadi tertuduh sebagai subjek pelaku tunggal terbentuknya criminal society. Pasca reformasi kita tidak menghendaki hal yang sama terulang sehingga demokrasi, hak asasi manusia, keadilan di tegakan secara subur diatas konsep negera hukum yang menjunjung tinggi demokrasi.

 

Hakikat negara hukum adalah hukum dijadikan panglima sehingga kekuasaan itu berjalan di atas rel dan perintah konstutusi sekaligus membendung munculnya kekuasaan yang bersifat absolut (Suganda Wirananggapati, Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia, 1992). Salah satu ciri yang paling menonjol adalah terjaminnya pelaksanaan hak asasi manusia antara lain menghargai ekspresi menyampaikan pendapat. Sementara hakikat negara kekuasaan menghendaki dominasi negara secara mutlak diatas kepentingan elit pelaksana kekuasaan. 

 

Hukum lahir untuk menentukan batasan larangan dan perintah sehingga terjadi ketertiban. Gustav Radbruch mengingatkan bahwa hukum yang baik adalah yang memiliki nilai keadilan kemanfaatan dan kepastian hukum. Kemanfaatan dan kepastian hukum tidak berguna jika tidak terlaksananya keadilan.

 

Konstitusi Indonesia menghendaki kekuasaan adalah pelayan bagi segenap seluruh tumpah darah Indonesia sehingga dengan roh dan konsep ini negara diharamkan menjadi pelayanan sekelompok orang di atas prinsip dan rambu equality before the law.

 

Dalam konsepsi pemikiran triaspolitika itu cukup jelas mengapa kekuasaan eksekutif, legislatif yudikatif, dipisahkan agar semua instrumen berfungsi dan fokus pada pengabdian pelayanan rakyat berbasis keadilan, mengekesekusi secara sistemik prinsip check and balances.

 

Sebagai pendukung konsep triaspolitika saya menggarisbawahi bahwa pemisahan kekuasaan yudikatif, ekskutif dan legislatif itu semata mata agar semua fungsi organ negara berjalan secara independent melayani rakyat secara adil.

 

Munculnya kelompok penyeimbang di luar kekuasaan (oposisi dan NGO) sesungguhnya untuk mengingatkan negara bahwa tujuan melalui konsesus untuk membentuk negara hukum yang diamanahkan konsitusi itu sudah mulai melenceng dari semangat tersebut karena indikator umum yang ditangkap pada ranah publik seolah keadilan hanya berpihak pada kelompok tertentu.

 

Ketidakberdayaan negara dalam melaksanakan amanah konstitusi menyejahterakan rakyat maka akan ada potensi negara menciptakan aturan dan produk hukum untuk mematikan hasrat penyeimbang menjadi entry point terjadinya arogansi hukum, mengingat bahwa hukum (undang undang) secara asas menghendaki seluruh warga negara tunduk secara terpaksa padanya, demikian rigid asasnya.

 

Dalam kegelisahan kita atas tontonan pelaksanaan ketidakadilan, apabila ada pertanyaan siapa yang paling berdosa atas terciptanya keadaan ini? Jika jawaban pertanyaan tersebut kita tuduhkan kepada para pencipta undang-undang,  maka dalam hal ini telah terjadi tindakan oleh eksekutif dan yudikatif juga legislatif memperalat undang-undang untuk melegitimasi tindakannya dalam melaksanakan kekuasaan untuk menyumbat tindakan koreksi yang menjadi spirit demokrasi lalu negara berpotensi menjadi subjek pencetus sekaligus pelaku kejahatan melalui media criminal society.

 

Hal terburuk yang dapat terjadi berikutnya adalah terjadinya kolektifitas tindakan arogansi atas nama undang-undang oleh yudikatif, legislatif dan eksekutif secara samar samar atau secara terang terangan rakyat melai melihat gejala itu. 

 

Dalam konteks Indonesia, secara konsep bahwa mengingat Indonesia tidak memisahkan kekuasaan secara mutlak antara legislatif dan yudikatif maka istilah Indonesia sebagai negara hukum adalah menjadi tidak tepat, hanya dapat disebut sebagai negara yang berdasarkan hukum, atau negara pelaksana undang undang, mengingat bahwa instrumen hukum dibawah kekuasaan negara berpihak pada kekuasaan. Undang Undang Cipta Lapangan Kerja diduga sebagai dasar argumentasi atas asumsi ini.

 

Jika mengacu pada konstitusi kita apakah Indonesia merupakan negara hukum dalam cita-cita atau sebuah konsep yang final? Negera hukum yang dicita citakan Indonesia adalah negara hukum demokratis yang secara aktif mewujudkan perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia. Tersurat dan tersirat di dalam UUD 1945, maka itu sebabnya Bangsa Indonesia menolak segala bentuk penjajahan di muka bumi.

 

Di sisi lain aktifitas politik yang berbasis pada sebuah konsensus untuk menciptakan negara sebagai negara hukum sejatinya lahir dari aktifitas politik bermoral namun kenyataan terjadi sebaliknya. Secara sinis Nietzche mengibaratkan mereka yang berebut kekuasaan persis seperti kera yang saling injak menginjak untuk mendapatkan kotoran busuk yaitu kekuasaan yang penuh dengan kebohongan. 

 

Sebuah ucapan yang terlalu sinis untuk mereka yang katanya berpolitik untuk kepentingan rakyat. Agaknya sinisme ini perlu sesekali terlontar untuk membatasi keangkuhan dan memaksa kita untuk rendah hati mengakui ketidakmampuan. Justru karena itulah sebuah perlawanan dan harapan akan tegaknya keadilan menjadi sesuatu yang asing. Dengan kalimat lain munculnya seorang yang bersikeras percaya pada hukum atau bersandar pada masih adanya keadilan seolah-olah menjadi kenaifan tersendiri (Negara Tanpa Hukum, Artijo Al Kotsar, 2000).

 

Apakah dengan melihat keadaan Indonesia saat ini masih bisa kita mengajukan pertanyaan: Apakah Negera Hukum hanya sebatas cita-cita tak berujung, rasanya memang bak pungguk merindukan bulan. Menjawab pertanyaan ini maka kata kuncinya terletak pada proses politik yang bermoral dan berintegritas sehingga melahirkan para politisi yang bermoral karena dari sanalah kita berharap hukum dan undang-undang yang berintegritas dan adil lahir sehingga menghindari lahirnya hukum yang hanya meligitimasi tujuan kediktatoran secara kolektif.

 

FPI dan Negara Sebagai Criminal Society?

 

FPI bagi sekelompok pendukungnya adalah ideologi bukan sekedar solidaritas dan kerumunan biasa. Doktrinnya jelas bahwa samina waatona dibatas keyakinan cinta pada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam melaui keturunannya adalah harga mati demikian di akar rumput. Sementara bagi penguasa dia adalah benalu. Namun keadilan menempatkan FPI sebagai ikon perlawanan terhadap ketidakadilan.

 

Dalam kasus FPI dengan Pemerintah dalam perspektif amanah konstitusi maka kita melihat negara tidak hadir dalam fungsi secara proporsional melerai dan mengurai persoalan tetapi dia muncul menjadi simbol pelaksana pesan arogansi yang diciptakan oleh undang undang maupun hukum.  Dimana kekeliruan negara? Dia menterjemahkan pesanan kepentingan sekelompok orang mungkin juga sekelompok idelogi melalui undang-undang bahwa kegiatan amar makruf nahyi mungkar ala FPI itu merongrong kekuasaan namun tidak dimaknai sebagai alat kontrol atas kehilafan negara.

 

Sebaliknya “arogansi” FPI itu terletak pada cara menterjemahkan perintah dan semangat konstitusi pada “wilayah yudikatif“ melalui semangat amar makruf nahyi mungkar walaupun hal  itu sudah tepat karena itu perintah kitab suci. Lalu dimana letak kekeliruanya? Dalam konsep negara yang tidak diatur oleh konsep khilafah atau sistem Islam (namun hukum liberal) maka kewajiban itu hanya diberikan pada instrumen yang ditunjuk undang-undang. Bukan sekelompok entitas. Jika mengacu pada sistim politik yang ada maka FPI seharusnya berada di dalam satu sistim politik yang disepakati melalui mekanisme keterwakilan melalui partai. Disanalah mobilisasi dan perang ide dan konsep. Cara ini adalah benteng bagi FPI agar tidak di tuding sebagai icon criminal society.  

 

Negara juga berpotensi melakukan kekerasan kolektif (criminal society) jika penyelesaian perbedaan dengan menggunakan tangan besi dengan menggunakan semua ogannya melalui tindakan persekusi elemen-elemen yang dianggap berseberangan dan menggangu. Tidak adanya aturan yang berdaulat yang dapat dijadikan perlindungan bagi rakyat adalah pemicu utama criminal society. Jika hal ini terus dibiarkan maka sejarah akan terus mencatat adanya kejahatan politik. Dalam kacamata hukum pidana kejahatan politik tidak hanya dilakukan oleh individu atau organisasi swasta tetapi juga ada kejahatan politik dilakukan oleh pemerintah (Kekerasan Politik Dan Tegaknya HAM, Artijo Al Kotsar 2000)

 

Irisan Perbedaan dan Kearifan Negara.

 

Dalam kasus FPI saya melihat letak “pusat benturan” antara FPI dengan negara adalah pada konsep dan idelogi. Pada area konsep pola amar makruf dan nahyi mungkar adalah benturan paling keras karena FPI ingin “mendikte” negara pada area yudikatif sementara pada area idelogi negara cenderung terlihat di kendalikan sekelompok orang yang tidak menghendaki area luka lama di korek kembali (kita tahu FPI lantang menentang komunisme)

 

Sayangnya FPI menempatkan perjuangan amar makruf nahyi mungkar pada “sistim firaunism” (demokrasi), apabila pilihan perjuangan amar makruf nahyi munkar melalui sistim firaunism (demokrasi) maka ini sama seperti mencangkok pohon anggur dengan benalu. Idelogi ini yang harus dipahami oleh FPI mengingat perjuangannya menjadikan Islam sebagai identitas utama agar tidak menempel stigma negatif pada Islam. Anda bisa menterjemahkan yang mana yang menjadi anggur dan yang mana benalu yang jelas tak akan dapat bersekutu. Salah satu pasti akan mati,  hidup bersama saja tidak enak dilihat. Para penganut ahlu suunah waljamaah berpendirian bahwa ada keharaman dan subhat besar membrontak pada penguasa. Tekstual begitu yang mereka pahami. 

 

Dalam perjuangan yang dituntun sunnah hanya 3 pilar ini yang bisa menjawab, iman, hijrah dan jihad pemahaman ini yang harus dikembangkan. Memisahkan ketiganya adalah ibarat membendung badai besar dengan payung daun pisang.

 

Karena sejarah akan terus berputar, kita tidak berharap politik yang dibangun di atas dendam,  catatan ini sumbangan pikiran kecil agar kita menempatkan segala bentuk sikap dan merespon perbedaan diatas keadilan.

 

Lalu kepada siapa hukum harus berpihak dan tunduk serta mengabdi secara sempurna? Jawabannya adalah hanya untuk keadilan. Keadilan menghendaki si miskin dan si kaya harus diperlakukan sama. Itu sebabnya simbol pemegang amanah pelaksana keadilan itu matanya tertutup.

 

Ketidakberdayaan negara dengan tidak melaksanakan keadilan bagi seluruh rakyatnya maka akan berpotensi menempatkan negara sebagai subjek criminal society, hukum menjadi alat melegitimasi tindakan otoriter. Tentu kita tidak ingin menanti hukum yang baik tapi kita sedang menunggu para pelaksana hukum yang baik karena dia yang menentukan baik buruknya hukum seburuk apapun produk hukumnya. Kita juga  tidak sedang menanti kebaikan negara di dalam melaksanakan fungsinya tapi kita perlu membantu negara menciptakan kebaikan kolektif (virtuous society) disitulah kita menaruh harapan pada kearifan negara mengelola perbedaan sehingga negara menjadi rule model dalam menghilangkan embrio criminal society.

 

Kita tidak berharap bahwa FPI, juga negara menjadi preseden buruk sebagai criminal society. Jika kita berani jujur mengakui kesalahan dan dosa masa lalu dengan menghakimi orde baru dan orde lama sebagai bagian dari criminal society maka mengapa hal yang sama masih ingin kita terus kita lakukan melalui kelompok tertentu atau bahkan oleh negara? Semua pertanyaan untuk direnungkan demi menjaga kemaslahatan bangsa kita***

Sumber : Salahudin Gaffar, Praktisi Hukum Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung.
- Dilihat 4606 Kali
Berita Terkait

0 Comments