Opini /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 29/09/2022 15:00 WIB

Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi

DEMOKRASI
DEMOKRASI

Oleh: Kartini Rosmala
Dosen Ilmu Komunikasi Unisma Bekasi


Nahas. Ungkapan ini tepat untuk menjuluki kondisi negeri ini. Rakyat semakin susah, para penguasa sibuk memperkaya. Sistem demokrasi yang diidolakan sungguh mencekek kesejahteraan rakyat. Para tuan penguasa diduduki oleh kekuatan segelintir orang yaitu para pengusaha dan kepentingan (oligarki).

Sungguh ironi memang, negeri dengan julukan "Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Kerta Raharja" menjadi sebuah dongeng belaka. Rakyat berharap negeri ini mampu dikelola dengan baik, tetapi justru korupsi tumbuh subur di negeri ini.

Pembatalan Peraturan Pemerintah No. 99/2012 yang berbunyi "Mengetatkan pemberian hak-hak napi korupsi, seperti remisi dan pembebasan bersyarat", menjadikan para napi koruptor bernapas lega karena masa hukumannya menjadi lebih cepat dari tuntutan sebelumnya. Kebijakan sepihak ini membuat kasus korupsi dianggap sebagai kejahatan biasa.

Kondisi diperparah dengan aturan Permenkumham no. 7/2022 yang menyebutkan bagi koruptor yang ingin mendapatkan remisi bebas bersyarat harus memenuhi persyaratan, yakni wajib sudah membayar denda dan uang pengganti.

Mudahnya obral remisi ini membuat rakyat geram, karena tidak masuk akal. Kebijakan baru membolehkan mantan para koruptor untuk menduduki kekuasan legislatif di pemilu 2024. Menurut mantan juru bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, "Selamat datang di era 'new normal' pemberantasan korupsi". Aneh memang, regulasi dalam demokrasi membolehkan eks koruptor tidak dilarang menduduki kembali jabatan caleg (calon legilatif).

Sungguh kebijakan-kebijakan ini sarat dengan kepentingan. Peluang obral remisi menunjukkan habitat demokrasi sebagai sarang tumbuh subur koruptor.

Padahal rakyat saat ini mendambakan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Rakyat masih banyak berharap, namun ini sebuah angan-angan demokrasi yang terus membuat hukum tumpul di atas, tajam di bawah.

Jika kita merujuk pada peradaban Islam (kekhilafahan), maka ini menjadi model pemerintahan yang diidolakan rakyat saat ini. Para penguasa harus memiliki modal utama Ketakwaan kepada Allah dan adil dalam menjabat.

Ketundukan kepada Allah membuat para penguasa akan merasa cemas dan khawatir ketika kedudukannya melanggar syariat Allah. Sifat adil penguasa menjadi refleksi keimanannya.

“Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil." (HR. Tirmidzi)”

Ketakwaan & sifat adil ini mengharuskan penguasa benar-benar menjadi tauladan bagi rakyatnya, karena dia akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. :

“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari  dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.).

Termasuk masalah korupsi, Rasulullah berkata "Laknat Allah bagi penyuap dan penerima suap." (HR. Abu Dawud). Dalam hadis riwayat Imam Ahmad, "Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur."

Tidak hanya itu dalam Islam, kontrol masyarakat juga sangat penting agar aturan atau kebijakan penguasa dapat dikontrol oleh rakyatnya, sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak sarat kepentingan.

Inilah yang kita dambakan selama ini yaitu sistem Islam yang lahir dari aturan Allah bukan hawa nafsu manusia seperti demokrasi yang berasal dari ideologi Kapitalisme dengan asas sekuler (memisahkan agama dari kehidupan).

Wallahu'alam

Reporter : Ardi Mahardika
- Dilihat 5862 Kali
Berita Terkait

0 Comments